PERLAWANAN
RAJA-RAJA ISLAM TERHADAP KOLONIALISME BELANDA
Disusun Oleh :
Nama : Linda Kusuma
No.Absen : 18
Kelas : XI IPA 6
SMA NEGERI 3
BOYOLALI TAHUN PELAJARAN 2015/2016
- PERLAWANAN MENENTANG
KOLONIALISME DI INDONESIA
Perlawanan menentang kolonialisme
dan imperialisme Barat sebagai reaksi terhadap pengaruh kolonialisme dan
imperialisme yang sangat merugikan baik dari segi politik, ideologi, sosial,
ekonomi maupun budaya di Indonesia, dapat dikelompokkan dalam dua periode besar
menurut kontek waktu. Pertama, perlawanan terhadap para pedagang Barat yang
berpolitik, seperti para pedagang Portugis, VOC dan EIC yang terjadi sepanjang
abad ke –16 sampai akhir abad ke –18.
Kedua, perlawanan terhadap pemerintahan Hindia-Belanda sejak abad ke
–19.
Perlawanan menentang kolonialisme dan
imperialisme ini dilakukan oleh pihak kerajaan, elit lokal dan rakyat dengan
motif dan bentuk gerakan yang berbeda. Satu hal yang pasti, perlawanan ini
muncul seiring dengan perluasan kolonialisme dan imperialisme Barat di berbagai
wilayah di Indonesia.
- RAJA-RAJA YANG MENENTANG
KOLONIALISME BELANDA
1.
Sultan Agung Hanyokrokusumo ( 1613 – 1645 )
Daerah Mataram semula merupakan bagian dari wilayah kerajaan
Pajang. Bupati Mataram pertama adalah Ki Gede Pemanahan. Pada tahun 1575 , Ki
Gede diganti oleh puteranya yaitu Danang Sutawijaya. Sultan Pajang wafat (
Sultan Hadiwijaya ) sekitar tahun 1582, Mataram
menyatakan memisahkan diri dari Pajang. Sutawijaya didampingi penasehatnya
Ki Jurumertani, mengukuhkan diri sebagai raja Mataram pertama bergelar
Panembahan Senopati.
Mataram kemudian diperintah oleh
putra Panembahan Senopati yang bernama Mas Jolang ( 1601 – 1613 ). Mas Jolang
gugur dalam suatu pertempuran sengit di Krapyak, sehingga mendapat sebutan
Panembahan Seda Krapyak. Sebagai penggatinya yang sah adalah putranya yang
bernama Raden Mas Rangsang yang untuk
selanjutnya dikenal dengan nama Sultan Agung Hanyokrokusumo.
Sultan Agung di samping cakap sebagai
raja juga fasih dalam hal seni budaya, ekonomi, sosial dan perpolitikkan.
Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa yang berhasil disatukan antara lain Gresik (
1613 ), Tuban ( 1616 ), Madura ( 1624 ), dan Surabaya ( 1625 ).
Latar belakang kejengkelan Sultan
Agung (Mataram ) bersitegang dengan
kompeni Belanda antara lain :
Kompeni Belanda memonopoli perdagangan.
Kompeni Belanda mengingkari
Perjanjian 1614.
Kompeni Belanda berkali-kali
merampok kapal dagang Mataram.
Kompeni Belanda suka menghina orang
Islam dan memperkosa para wanita.
Pada tahun 1614 sebenarnya VOC
telah melakukan kontak dengan Mataram ( Sultan Agung ) yang melahirkan
Perjanjian 1614, berisi :
1. Sultan memperkenankan Kompeni Belanda
mendirikan kantor dagang ( loji ) di
Jepara.
2. Belanda siap memberikan apa saja yang
diminta Sultan Agung.
Sultan Agung menyadari bahwa
Kompeni Belanda tidak dapat dipercaya, ingin mencari enaknya sendiri dan
sewenang-wenang. Karena kekesalan itulah Sultan Agung memerintahkan Adipati
Jepara untuk menghancurkan loji Belanda di Jepara. Serangan yang dilakukan pada
tanggal 8 Agustus 1618 inilah sejumlah kompeni Belanda dan pemimpinnya,
Cornelis van Masyck dan Balthasar van Eyndhoven dinyatakan tewas.
Selanjutnya, pada tanggal 22
Agustus 1628 pasukan Mataram tidak tanggung-tanggung menyerang Batavia, jantung
kekuatan VOC. Serangan pertama Mataram ini dipimpin Tumenggung Baureksa dan
Dipati Ukur, berhasil membunuh 56 orang,
24 luka berat dan 200 orang menyerah dalam penyerbuan terhadap benteng Holland,
Parel, Gelderland, Bommel dan Freesland.
Kekuatan Mataram pada serangan
pertama ke Batavia tahun 1628 :
1. Kekuatan armada laut :
a. Pendaratan tanggal 22 Agustus 1628,
berjumlah 59 kapal dagang.
b. Tanggal 24 Agustus 1628, armada ke 2 mendarat
7 kapal perang.
c. Pada tanggal 25 Agustus 1628, pendaratan
ke 3 berjumlah 27 kapal
2. Serangan darat :
a. Tumenggung Baurekso menyerang dari front
Timur.
b. Adipati Ukur menyerang dari front Selatan
Setelah mendapat serangan
bertubi-tubi, Gubernur Jendral VOC,
J.P. Coen pada tanggal 21 Oktober
1628 mengadakan serangan balasan dengan kekuatan 700 orang yang dipimpin Jaques
le Febre. Senopati Tumenggung Baurekso gugur, bantuan dari Mataram yang
dipimpin Tumenggung Suro Agul-Agul, Kyai Adipati Manduwa Reja, dan Kyai Adipati
Upasanta datang terlambat. Pertempuran ini mengakibatkan banyak korban dikedua
belah pihak. Mataram kehilangan 744 orang prajurit, kompeni Belanda kehilangan
ratusan serdadunya.
Serangan kedua pasukan Mataram dimulai tanggal 22 Agustus 1629. Pasukan
Mataram mengerahkan 130.000 orang prajurit dan semua perbekalan, senjata diatur
dengan tertib. Sasaran penyerbuan diarahkan pada benteng Parel, Holland,
Robiju, Safier dan Diamant. Benteng-benteng itu dikepung oleh berlapis-lapis
prajurit Mataram. Pertempuran serupun terjadi pada tanggal 20 September 1629,
kompeni yang bertahan di dalam benteng mulai kehabisan bekal dan peluru. Selain
jatuh korban 600 serdadu kompeni,
Gubernur Jendral J.P. Coen juga tewas, yang menurut versi Belanda
disebabkan oleh wabah penyakit menular. Meskipun Mataram tidak mutlak berhasil
menghancurkan kompeni di Batavia apalagi mengusirnya, tetapi Sultan Agung sudah
menunjukkan semangat anti penjajahan asing, khususnya kompeni Belanda.
2.
Sultan
Ageng Tirtayasa ( 1651 – 1683 )
Pada masa pemerintahan Sulten Ageng
atau Sultan Tirtayasa merupakan jaman keemasan Kerajaan Banten. Armada Banten
di tata dan dibangun mengikuti model Eropa. Kapal-kapal berlayar menggunakan
surat jalan Sultan. Orang Banten mampu menjalin transaksi dengan Persia, India,
Siam, Vietnam, Cina, Filipina dan Jepang. Sultan Ageng juga menaruh perhatian
terhadap pengembangan agrarisnya. Pada tahun 1663 sampai tahun 1677,
dibangunlah sistem irigasi besar-besaran di Banten. Kanal-kanal dibangun
sepanjang 30 – 40 km yang mempekerjakan sekitar 16.000 orang. Kanal-kanal ini
mampu mengairi 30.000 – 40.000 hektar persawahan dan ribuan hektar perkebunan. Proyek-proyek ini berguna tidak hanya dalam
meningkatkan kekayaan pertanian kerajaan, tetapi juga dalam membawa
daerah-daearh pedalaman.
Sultan Ageng memajukan
perdagangan luar negeri dan pertanian daerah pedalaman tergolong berhasil.
Kincir angin yang paling mutakhir sengaja didatangkan dari Batavia digunakan
untuk irigasi. Pada tahun 1620, para pedagang Cina memperkenalkan tebu. Kerajaan
Banten menjadi makmur.
Sultan Ageng merupakan musuh VOC
yang tangguh. Pihak VOC ingin mendapatkan
monopoli lada di Banten. Pada tahun 1656 pecah perang, Banten menyerang
daerah-daerah Batavia dan kapal-kapal VOC, sedangkan VOC memblokade pelabuhan.
Pada tahun 1659 tercapai suatu penyelesaian damai. VOC mencari siasat memecah
belah dengan memanfaatkan konflik internal dalam keluarga Kerajaan Banten.
Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat
putranya yang bergelar Sultan Haji ( 1682 –1687 ) sebagai raja di Banten.
Sultan Ageng dengan Sultan Haji berlainan sifatnya. Sultan Ageng bersifat
sangat keras dan anti VOC sedang Sultan Haji lemah dan tunduk pada VOC. Maka
ketika Sultan Haji menjalin hubungan dengan VOC, Sultan Ageng menentang dan
langsung menurunkan Sultan Haji dari tahtanya.
Konflik antara ayah dan anak ini
dimanfaatkan oleh VOC dengan menerima
permintaan Sultan Haji untuk membantu mengembalikan tahta Kerajaan Banten. Pihak Sultan Ageng didukung oleh kalangan
pemuka muslim baik di Banten sendiri maupun dari luar seperti Makasar, Madura
dan Mataram. VOC memerangi Sultan Ageng dan mengejar sampai ke daerah-daerah
pegunungan. Pada tahun 1683 Sultan Ageng berhasil ditangkap, ditahan di Banten
untuk beberapa lama kemudian dipindah ke Batavia sampai wafatnya tahun 1695.
Syekh Yusup Makasar ( 1626 – 1699 ) dari Sulawesi Selatan yang mendukung
perjuangan Sultan Ageng berhasil ditangkap pada tahun itu juga, 1683. Syekh
Yusup diasingkan ke kawasan Tanjung Harapan, Afrika bagian selatan sampai
wafatnya pada tahun 1699.
Sultan Haji kembali menduduki tahta
Kerajaan Banten. Namun sebagian besar wilayah Banten telah diambil alih oleh
VOC. Monopoli perdagangan lada di Banten akhirnya dapat dilaksanakan oleh VOC.
Sisa-sisa perlawanan menentang VOC terus dilakukan secara gerilya oleh pengikut
Sultan Ageng, yaitu Ratu Bagus Boang dan Kyai Tapa.
3.
Sultan Hasanuddin ( 1654 – 1669 )
Jauh sebelum orang-orang VOC
datang, orang-orang suku Makasar dan Bugis sudah terkenal sebagai pedagang dan
pelaut yang ulung. Seluruh penjuru Nusantara telah dijelajah dengan
perahu-perahu pinisi yang terkenal lincah dan cekatan. Bandar Sombaopu, ibukota
kerajaan Gowa-Tallo merupakan pelabuhan transip menawarkan barang-barang lebih
murah seperti rempah-rempah, beras, ternak, dan kayu cendana.
Di Sulawesi Selatan terdapat
banyak rejaan besar dan kecil, seperti :
1. Kerajaan Gowa-Tallo adalah kerajaan
orang-orang suku Makasar
2. Kerajaan Soppeng, Wajo, Tanete, dan
Sawitto merupakan kerajaan suku Bugis.
3. Kerajaan Balanipa, Binnang, Campala
Giang, Bampuang, Cenrana, Tapalang dan Mamuju adalah kerajaan suku Mandar.
Raja suku Makasar disebut :
Karaeng
Raja suku Bugis disebut :
Aru atau Arung
Raja suku Mandar disebut :
Maladdia
Akhirnya VOC berusaha untuk
menguasai wilayah timur ini dengan sewenang-wenang. VOC berani melarang dengan
keras orang-orang Makasar melakukan transaksi dagang di kepulauan Maluku. Raja
Gowa waktu itu Sultan Alaudin dengan
tegas menentang dan menjawab “Tuhan menciptakan bumi dan lautan untuk dimiliki
bersama. Tak pernah ada terdengar orang dilarang berdagang dan berlayar . Yang
melarang hal itu berarti merenggut nafkah orang”.
Kepentinga kerajaan Gowa dan
kepentingan VOC saling bertentangan,
maka pada perkembangan selanjutnya tidaklah mengherankan jika terjadi
benturan dan peperangan. Hal ini berlanjut pada masa Sultan Muhamad Said, putra
Sultan Alaudin yang wafat pada tanggal 15 Juni 1639.VOC dilarang membuka kantor
perdagangan di Sobbaopu. Orang-orang makasar tidak peduli terhadap
larangan-larang dan peraturan yang dibuat VOC.
Pada tanggal 6 Nopember 1653,
Sultan Muhamad Said wafat diganti putranya yang bernama Sultan Hasanuddin.
Sultan Hasanuddin adalah adalah seorang ksatria gemblengan kerajaan Gowa,
pernah menjabat sebagai Karaeng Tumakhajannangngang ( pasukan elite/ istimewa
).
Sultan Hasanuddin tetap menjalankan
dan melanjutkan kebijaksanaan yang diambil oleh almarhum kakek dan ayahnya.
Kerajaan Gowa tetap tidak mau mengakui hak monopoli perdagangan VOC di Maluku
maupun di Sobaopu. Pada bulan April 1655 armada Gowa di bawah pimpinan Sultan
Hasanuddin mampu merebut Buton dari pendudukan VOC. Pada tanggal 23 Oktober
1655, kapal VOC yang dipimpin Casper Buytendijk dan 24 anak buahnya berhasil
dihancurkan. Konflik antara VOC dan kerajaan Gowa terus berlanjut, hampir tak
terputus sejak tahun 1615.
Pada bulan Desember 1666, armada
VOC dengan kekuatan 21 kapal yang dilengkapi meriam, mengangkut 600 tentara
yang dipimpin Cornelis Speelman tiba dan menyerang Makasar dari laut. Arung
Palaka dan orang-orang suku Bugis rival suku Makasar membantu VOC menyerang
melalui daratan. Akhirnya VOC dengan sekutu-sekutu Bugisnya keluar sebagai
pemenang, Sultan Hasanuddin dipaksa menanda tangani Perjanjian Bongaya pada
tanggal 18 Nopember 1667, yang berisi :
Sultan Hasanuddin memberi
kebebasan kepada VOC melaksanakan perdagangan .
VOC memegang monopoli perdagangan
di Sombaopu .
Benteng Makasar di Ujung Pandang
diserahkan pada VOC.
Bone dan kerajaan-kerajaan Bugis
lainnya terbebas dari kekuasaan Gowa.
Sultan Hasanuddin tetap gigih,
masih mengobarkan pertempuran-pertempuran. Serangan besar-besaran terjadi pada
bulan April 1668 sampai Juni 1669. Akhirnya Sultan tak berdaya namun semangat
juangnya menentang VOC masih dilanjutkan oleh orang-orang Makasar.
0 comments:
Post a Comment